من
ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام
في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان
(موضوع)
"Barangsiapa
dianugerahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqamat di
telinga kirinya, maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin."
(Hadits
Palsu)
Hadits
ini maudhu'. Ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab Amalul
Yaumi wal Lailati halaman
200 dan juga oleh Ibnu Asakir II/182, dengan sanad dari Abu Ya'la bin
Ala ar-Razi, dari Marwan bin Salim, dari Thalhah bin Ubaidillah
al-Uqalli, dari Husain bin Ali radhiyallahu'anhu.
Menurut
saya, sanad tersebut maudhu' sebeb Yahya bin Ala dan Marwan bin Salim
dikenal sebagai pemalsu hadits. Disamping itu, dalam periwayatan
hadits diatas ada semacam unsur meremehkan atau menggampangkan
masalah. Hal itu diutarakan oleh al-Haitsami dalam kitab Majma'
az-Zawa'id IV/59,
“Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam sanadnya
terdapat Marwan bin Sulaiman al-Ghiffari yang oleh para Muhadditsin
riwayatnya ditinggalkan atau tidak diterima. Al-Manawi, pensyarah
(penjelas) kitab Al-Jami'us
Shaghir berkata,
“Hadits ini dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ala al-Bajali
ar-Razi.” Adz-Dzahabi dalam kitab adh-Dhu'afa
wal Matrukin berkata,
“Ia pendusta dan pemalsu.” Itulah yang dinyatakan oleh Imam
Ahmad.
Menurut
saya, kepalsuan hadits diatas banyak diketahui ulama. Buktinya banyak
ulama kondang yang mengutarakan hadits diatas tanpa menyebutkan
kepalsuannya dan kelemahannya. Hal ini terutamanya dilakuka oleh
ulama penulis atau pembuat kitab-kitab wirid atau kitab-kitab
fadha'il. Misalnya, Imam Nawawi mengungkapkan hadits tersebut dengan
perawi Ibnu Sunni namun tanpa memberi isyarat atau komentar akan
kelemahan dan kapalsuannya. Begitu pula dengan pensyarahan yakni Ibnu
Ala. Ia pun tidak menyinggung tentang sanadnya sama sekali.
Setelah
itu datanglah ulama generasi berikutnya Ibnu Taimiyah yang dapat
dilihat dalam kitab al-Kalimatuth
Tahyyib yang
diikuti oleh muridnya Ibnu Qayyim yang diutarakan dalam kitab
al-Wabilush
Shayyib. Namun
keduanya menyinggung seraya berkata dalam sanadnya terdapat
kelemahan. Setelah keduanya, datanglah generasi ulama berikutnya atau
bahkan diam seribu bahasa dalam mengomentari sanad hadits tersebut.
Pada
prinsipnya, sekalipun keduanya (Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim) telah
terbebas dari aib mendiamkan hadits atau riwayat dha'if, namun tetap
tidak bebas dari pengungkapan kedha'ifan suatu hadits. Maksudnya,
bila mengetahui kedha'ifan hadits tadi mengapa mereka masih
mengutarakannya? Itu berarti hanya merupakan pernyataan kedha'ifan
hadits tersebut dan bukannya menunjukkan akan kepalsuannya. Bila
tidak demikian, maka sudah sepantasnya kedua imam yang agung itu
tidak mengutarakan hadits tersebut diatas. Inilah yang pasti akan
dipahami oleh orang-orang yang meneliti dan mau menelaah kitab atau
karya tulis kedua imam tadi.
Yang
membuat saya khawatir ia para ulama generasi sesudah beliau menjadi
terkecih hingga dengan lantang berkata, “Tidak apa-apa, karena
hadits dha'if pun dapat dipakai untuk mengamalkan fadha'ilul
a'mal (amalan-amalan
yang mulia).” yang terjadi kemudian, bahkan hadits itu dijadikan
penguat hadits dha'if lainnya dengan meremehkan syarat mutlak harus
ada yaitu hendaknya apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan
sanad dha'if (lemah) dari Abu Rafi' yang berkata, “Aku telah
melihat Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengumandangkan
adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fathimah
binti Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam.”
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini sahih dan hendaknya diamalkan
dengan dasar hadits tersebut.”
Kemudian
pensyarahan, yakni al
Mubar Kafuri setelah
menjelaskan kelemahan sanadnya dengan dasar pernyataan para ulama,
berkata, “Bila ditanya, “Bagaimana mungkin dapat diamalkan
sedangkan hadits itu lemah, akan tetapi menjadi kuat dengan adanya
riwayat lainnya yaitu hadits dari Husain bin Ali radhiyallahu'anhu
yang
diriwayatkan oleh Abu Ya'la al-Mushaili dan Ibnu Sunni.”
Coba
Anda perhatikan! Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau dapat
dikuatkan dengan adanya hadits palsu? Dari mana datangnya kaidah
tersebut? Sungguh yang demikian itu tidak ada kamusnya dalam sejarah
para muhadditsin pada masa lalu hingga hari kiamat nanti. Menurut
saya, yang demikian itu dapat terjadi tidak lain karena tidak
mengenal kepalsuan hadits Husain bin Ali diatas dan juga karena
terkecih oleh komentar atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya
tulis ulama terkenal atau ulama yang dianggap menjadi panutan. Memang
benar untuk menguatkan hadits Abi Rafi' yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi itu adalah dengan adanya riwayat atau hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu'anhu
yaitu,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam telah
mengumandangkan adzan pada telinga kirinya (hadits tersebut telah
dikeluarkan oleh Baihaqi dalam kitab Syu'abul
Iman berbarengan
dengan hadits Hasan bin Ali). Kemudian Baihaqi berkata, “Kedua
hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kelemahan.”[1]
Setelelah
kita mengetahui kelemahan hadits diatas, maka selayaknya seorang
muslim tidak melakukannya, karena dalil yang menjadi landasannya
ialah tidak valid dari Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wasallam.
Seorang
ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini
hafizhohullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan adzan
di telinga bayi
adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak
bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan
membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi
hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah
Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)
Demikian
suadaraku, penjelasan mengenai adzan
di telinga bayi.
Semoga dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin
mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah
mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini
dapat memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.
Faiz
di
Pagi Hari Sabtu yang Berkah
22
Muharram 1436 H / 15 November 2014
___________
[1]
Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1, Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, hal. 258-260. Gema Insani Press: Jakarta.
[2]
Rumaysho.com (judul Kritik: Anjuran Adzan di telinga Bayi)