Teks
Hadits
إختلاف
أمتي رحمة .
( لا
أصل له)
Hadits
ini tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan
sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak
menemukannya. As-Subuki mengatakan, “ Hadits tersebut tidak dikenal
di kalannga para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya
yang shahih, dha'if, maupun maudhu'. Pernyataan it ditegaskan dan
disepakati Syeikh Zakaria al-Ansshari dalam mengomentari tafsir
al-Baidhawi
II/92.
Di situ ia mengatakan, “Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan
menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti.” Ibnu Hazem dalam
kitab al-Ahkam
fi Ushulil Ahkam V/64
menyatakan, “Ini bukan hadits.” Barangkali ini termasuk sederetan
ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan
pertentangan itu rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu
kutukan. Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum
muslim yang berpikir tengan dan teliti. Masalahnya, ada dua
alternatif, yakni bersepakat atau berselisih, yang berarti pula
rahmat atau kutukan (kemurkaan).
Menurut
saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi Umat Islam dari masa
ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar madzhab
benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut madzhab
yang fanatik tidak segan-segannya mengafirkan pengikut madzhab yang
lain. Anehnya, jangankan para pengikut madzhab, para pemimpin atau
para ulama pun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang
pun yang kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang
shahih. Padahal, itulah yang diperintahkan oleh para Imam Madzhab
yang mereka ikuti. Imam-imam yang menjadi panutan mareka itu telah
dengan tegas berpegang hanya kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, ijma'
dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan
secara bersama, “Bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku. Dan
bila ijtihad atau pendapatku bertentangan dengan Al-Qur-an dan Sunnah
yang sahih, ikutilah Qur-an dan Sunnah serta campakkanlah ijtihad dan
pendapatku. Itulah mereka.
Ulama
kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan
dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan
mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil
dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan
demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada
dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa
itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu benar-benar
mengkaji dan mempelajari Al-Qur-an serta mencamkan firman Allah dalam
surat an-Nisa' ayat 82 yang artinya:
“...
Kalau
sekiranya Al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah. Tentulah mereka
mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya. (an-Nisa':
82)
Ayat
tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan
bukanlah dari Allah. Kalau demikiaan, bagaimana mungkin perselisihan
itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi
merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? Laa
haula wala quwwata illa billah!
Karena
adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam
-khususnya dewasa ini- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam
banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka
mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan
dikecam Al-Qur-an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke
persatuan dan kesatuan.
Ringkasnya,
perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib
adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkan
dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat
Islam seperti difirmankan Allah:
“Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu ….” (al-Anfal:
46)
Adapun
merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat
jelas sekali menyalahi ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits sahih. Dan
nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak
bersumber dari Rasulullah.
Barangkali
muncul pertanyaan: para Sahabat Rasulullah telah berselisih pendapat,
padaahal mereka adalah seutama-seutamanya manusia. Lalu apakah mereka
juga termasuk yang dikecam Al-Qur-an dan Sunnah? Pertanyaan semacam
itu dijawab oleh Ibnu Hazem: Tidak! Sama sekali, tidak! Mereka tidak
termasuk yang dikecam Al-Qur-an dan Sunnah, sebab mereka
masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya
semata. Di antara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat
baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah diadakan dosa atas
mereka karena ada kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa?
Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan
tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang
mendapat baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat
nanti.
Adapun
kecaman dan ancaman yang ada dalam Al-Qur-an dan Sunnah setelah
keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata
di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada Si Fulan
dan si Fulan. bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak
fanatisme sempit ala jahiliyah demi menyuburkan firqah. Mereka
sengaja menolak Al-Qur-an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan
keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka
kembali pada ashabiyah jahiliyahnya.
Karena
itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semuai itu bila Anda
mengharap kesalamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta
dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih. (Lihat al-Ihkam
fi Ushulil-Ahkam, V/67-68).
wallahu a'alam bishawab, walhamdulillahi rabbil 'alamin
sumber: Silsilah Hadits Dhaif dan Muadhu' jilid 1, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.68)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar