disusun oleh Ustadz Anas Burhanuddin, MA hafizhahullahu
Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu bahwa Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Barang
siapa shalat di masjidku (masjid nabawi) empat puluh shalat tanpa ketinggalan
sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari api neraka, keselamatan dari
siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad no.12.583 dan
ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444)
Hadits
ini dihukumi shahih oleh beberapa Ulama seperti al-Mundziri rahimahullahu, al-Haitsami rahimahullahu dan Hammad
al-Anshari rahimahullahu[1]
karena ibnu Hibban rahimahullahu
memasukan Nubaith bin Umar, salah seorang perawi hadits menjelaskan bahwa
Ibnu Hibban rahimahullahu memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu
memasukkan orang-orang yang majhul (tak dikenal) ke dalam kelompok rawi
yang tsiqah (terpercaya).
Perlu
direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di
kalangan para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya
diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’in (generasi setelah
sahabat) yang tdak dikenali dan tidak memilki riwayat sama sekali –tidak dalam
hadits shahih maupun hadits dha’if- kecuali hadits ini ?[2]
Maka
sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan
hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini
adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baaz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah
Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3]
Beberapa
Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in
Terlepas
dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu dipehatikan
seputar amalan ini, di antaranya:
1. Kadang-kadang
terjadi pelanggaran Sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang
masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan
mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan.
Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul
ikhram bersama imam. Padahal Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang
dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah
untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama
imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal. (HR. Al-Bukhari
no. 636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari)
2. Sebagian
orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah
mneyelesaikan arba’in. Hali ini bisa
mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelangan kepuangan dari
Madinah. Pangilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya
dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya
saat program arba’in belum selesai.
Jika kita melihat kondisi para jamaah haji
setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa lihat kondisi yang
lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka
telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in ? Jika demikian, maka amalan
yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami
secara salah. Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu Ulama yang iktu menshahihkan
amalan ini- berkata, “Perlu diketahui nahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah.
Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan
shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.”[4]
3. Sebagian
orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu yang lama,
sedangkan mereka tidak memilki bekal
yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain.
Sebagian orang yang kehabisan bekalakhirnya mengemis di Madinah demi mengejar
keutamaan arba’in.[5]
Adapun
jamaah haji Indonesia, insya Allah tidak
mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya
pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di
samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika dugunakan untuk
memperbayak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memilki keutamaan
lebih besar.
4. Barangkali
ada jamaah haji yang melaksanakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat
sedang sakit keras demi mengejar keutaman arba’in.
Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan
kesehatan, maka hali ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat
bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji. Sayangnya hal
ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti
mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementaa sebagian jamaah lain justru
sakit ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir
untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5. Bagi
para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka
daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-
bahwa ia telah datang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai
Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi berkata, “Aku sudah
tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu daripada
shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar
depan lebih baik bagimu daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu
di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid
kaummu, dan shalat di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka
Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid (tempat shalat) di bagian
rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai
bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 20.090, dihukumi hasan oleh Ibnu
Hajar)
Kita
sudah mengetahaui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi
wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di
Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu
semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah
haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid radhiyallahu’anhu
yang begitu menaati Sunnah Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam dengan selalu shalat di rumah. Tidak
seperti sebagian jamaah haji yang kadang shalat di jalan-jalan kota Makkah
karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu
agama yng memadai.
Ada Arba’in Lain
Selain arba’in
di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih,
yaitu hadit berikut:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Barang
siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa
ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan
dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (HR. At-Tirmidzi no.
241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para perawinya
tsiqah)[6]
Di
banding arba’in yang di atas, arba’in ini memilki beberapa perbedaan, yaitu:
1.
Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam
empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam dela[an hari.
Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami
kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang
dijanjikan.
2.
Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada
Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di manapun di atas muka bumi.
Khatimah
Dari paparan di atas,
jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat
cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di masjid
Nabawi. Lemahnya hadits arba’in ditambah adanya praktek-praktek yang salah
sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga
Allah Ta’ala membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal,
dan membimbingnya kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin. []
rujukan : Majalah as-Sunnah No.05/Thn, XVI
rujukan : Majalah as-Sunnah No.05/Thn, XVI
[1] Majma’ az-Zawaaid 4/8, at-Targhib wa Tarhib 2/139. Adapun ibnu
Hajar, be
[2] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan
dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41
[3] Silsilatul Ahadits adh-Dhai’fah wal Maudhu’ah
1/540 no.364, Majmu’ Fatawa Syaikh
bin Baaz 26/285, Fadhlul Madinah, hlm.
19, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 4/440
[4] Adhwa’ul Bayan 8/336
[5] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan
dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41
[6][6][6][6][6]
Shahihut Targhib wa Tarhib 1/98 no.
409, Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin 1/334.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar