Ahlan wa sahlan bagi pengunjung yang dirahmati Allah sekalian. Dipersilakan bagi pembaca atau pengunjung untuk menyebarkan isi atau meteri dari blog ini dengan menjaga amanat ilmiah, dengan mencantumkan link website ini. Semoga dapat menjadi amal kebaikan kita di akhirat kelak. Aamiin

Senin, 12 Agustus 2013

Perselisihan adalah Rahmat?


Teks Hadits
 
إختلاف أمتي رحمة . ( لا أصل له)
Perselisihan di antara umatku adalah rahmat. [tidak ada asalnya]





Hadits ini tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan, “ Hadits tersebut tidak dikenal di kalannga para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang shahih, dha'if, maupun maudhu'. Pernyataan it ditegaskan dan disepakati Syeikh Zakaria al-Ansshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situ ia mengatakan, “Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti.” Ibnu Hazem dalam kitab al-Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, “Ini bukan hadits.” Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan itu rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu kutukan. Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslim yang berpikir tengan dan teliti. Masalahnya, ada dua alternatif, yakni bersepakat atau berselisih, yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan).
Menurut saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi Umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar madzhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut madzhab yang fanatik tidak segan-segannya mengafirkan pengikut madzhab yang lain. Anehnya, jangankan para pengikut madzhab, para pemimpin atau para ulama pun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang shahih. Padahal, itulah yang diperintahkan oleh para Imam Madzhab yang mereka ikuti. Imam-imam yang menjadi panutan mareka itu telah dengan tegas berpegang hanya kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, ijma' dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, “Bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku bertentangan dengan Al-Qur-an dan Sunnah yang sahih, ikutilah Qur-an dan Sunnah serta campakkanlah ijtihad dan pendapatku. Itulah mereka.
Ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur-an serta mencamkan firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 82 yang artinya:
... Kalau sekiranya Al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah. Tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya. (an-Nisa': 82)
Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikiaan, bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? Laa haula wala quwwata illa billah!
Karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam -khususnya dewasa ini- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur-an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan.
Ringkasnya, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkan dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti difirmankan Allah:
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu ….” (al-Anfal: 46)
Adapun merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat jelas sekali menyalahi ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits sahih. Dan nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak bersumber dari Rasulullah.
Barangkali muncul pertanyaan: para Sahabat Rasulullah telah berselisih pendapat, padaahal mereka adalah seutama-seutamanya manusia. Lalu apakah mereka juga termasuk yang dikecam Al-Qur-an dan Sunnah? Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Ibnu Hazem: Tidak! Sama sekali, tidak! Mereka tidak termasuk yang dikecam Al-Qur-an dan Sunnah, sebab mereka masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya semata. Di antara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah diadakan dosa atas mereka karena ada kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa? Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang mendapat baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat nanti.
Adapun kecaman dan ancaman yang ada dalam Al-Qur-an dan Sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada Si Fulan dan si Fulan. bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak fanatisme sempit ala jahiliyah demi menyuburkan firqah. Mereka sengaja menolak Al-Qur-an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka kembali pada ashabiyah jahiliyahnya.
Karena itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semuai itu bila Anda mengharap kesalamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Lihat al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam, V/67-68). 
wallahu a'alam bishawab, walhamdulillahi rabbil 'alamin
sumber: Silsilah Hadits Dhaif dan Muadhu' jilid 1, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.68)