Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya
sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi
manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan :
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah
menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan
orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan ta'wilan para pendusta dari
sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu sunnah.
Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits yang
dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para
imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.
Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan
melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak
memperdulikan masalah yang mulia ini walau sedikit perhatianpun walaupun banyak
sumber ilmu yang memuat keterangan shahih dan menyingkap yang bathil.
Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh
yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian
contoh yang baru masuk dan masyhur dikalangan manusia dengan sangat masyhurnya,
hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali
hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan tinggi. (Ini semua)
sebagai pengamalan hadits : "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat
..." [Riwayat Bukhari 6/361], dan sabda beliau : "Agama itu
nasehat" [Riwayat Muslim no. 55]
Maka kami katakan wabillahi taufik :
Sesungguhnya hadits-hadits yang
tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah
menyebutkan hadits shahih -walau banyak-yang bisa menghentikan mereka dari
menyebut hadits dhaif.
Semoga Allah merahmati Al-Imam Abdullah bin
Mubarak yang mengatakan : "(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan
(diri) dari yang dhaifnya".
Jadikanlah Imam ini sebagai suri
tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup
kita).
Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai
dalil) di kalangan manusia di bulan Ramadhan, diantaranya.
Pertama.
"Artinya : Kalaulah
seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku
akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga
dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ...."
Hingga akhir hadits ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan
Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul 'Aaliyah
(Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas'ud
al-Ghifari.
Hadits ini maudhu' (palsu),
penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam
Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : "Mashur dengan
kelemahannya". Juga dinukilkan perkataan Abu Nua'im, " Dia suka
memalsukan hadits", dan dari Bukhari, berkata, "Mungkarul
hadits" dan dari An-Nasa'i, "Matruk" (ditinggalkan)
haditsnya".
Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini
sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya,
"Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin
Ayyub Al-Bajali".
Kedua.
"Artinya :Wahai manusia,
sungguh bulan yang agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya
terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa
(pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai
amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan
(mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara
yang wajib pada bulan yang lain .... Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat,
pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka
...." sampai selesai.
Hadits ini juga panjang, kami
cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293)
dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin
Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena
lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa'ad, Di dalamnya ada kelemahan dan
jangang berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata
Ibnu Ma'in. Dha'if berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan
berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek
hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah
meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam
Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad'an, dan dia lemah, sebagaimana
hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami'ul Jawami (no. 23714
-tertib urutannya).
Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari
bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar
Ketiga.
"Artinya : Berpuasalah, niscaya
kalian akan sehat"
Hadits tersebut merupakan potongan
dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin
Sa'id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas. Nashsyal (termasuk) yang ditinggal
(karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani di
dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma'ul Bahrain) dan Abu Nu'aim di dalam At-Thibun
Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin
Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah.
Dan sanad hadits ini lemah. Berkata
Abu Bakar Al-Atsram, "Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan
riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, "Mereka
meriwayatkan darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam,
-pent) yang dhoif itu". Ibnu Abi Hatim berkata, "Hafalannya jelek dan
hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak,
karena jeleknya hafalan dia". Al-Ajalaiy berkata. "Hadits ini tidak
membuatku kagum", demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/417).
Aku katakan : Dan Muhammad bin
Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q
386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh
para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.
Keempat
"Artinya : Barangsiapa yang
berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula
karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun
ia berpuasa pada satu tahun penuh"
Hadits ini diriwayatkan Bukhari
dengan mu'allaq dalam shahih-nya (4/160-Fathul Bari) tanpa sanad.
Ibnu Khuzaimah telah memalukan
hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At-Tirmidzi (723), Abu Dawud
(2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa'i di dalam Al-Kubra sebagaimana pada
Tuhfatul Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajjar dalam Taghliqut
Ta'liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari
(4/161) : "Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit
dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit :
idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan
pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah".
Ibnu Khuzaimah berkata setelah
meriwayatkannya :Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil
Muthawwas dan tidak pula bapaknya, hingga hadits ini dhaif juga:.
Wa ba'du : Inilah empat hadits yang
didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan oleh para Imam, namun walaupun
demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan
Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa
sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan
syari'at kita yang lurus baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah, akan tetapi
(hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah-
umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang
lain. Dengan sanad dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana
yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah
ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya :
"Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar".
Kelima
“Dari Nadhr bin Syaiban, ia
mengatakan, 'Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman
rahimahullahu, aku mengatakan kepadanya, 'Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits
yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurrahman bin 'Auf
radhiyallahu'anhu) tentang Ramadhan,' Ia mengatakan, 'Ya bapakku (maksudnya
Abdurrahman bin 'Auf) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah pernah
menyebut bulan Ramadhan lalu bersabda, 'Bulan yang Allah telah wajibkan atas
kalian puasanya dan aku menyunnahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barang
siapa berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan
ganjaran dari Allah, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat
dia dilahirkan oleh ibunya.” (HR Ibnu Majah, no.
1328 dan Ibnu Khuzaimah no. 2201 lewat jalur periwayatan Nadhr bin Syaiban)
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr
bin Syaibah itu layyinaul hadits (orang yang haditsnya lemah),
sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib beliau rahimahullahu.
Ibnu Khuzaimah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau mengatakan
bahwa hadits yang sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu'anhu.
Hadits yang belaiau maksudkan yaitu
hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan ulama hadits lainnya
lewat jalur Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang shalat (qiyam
Ramadhan atau Tarawih) dengan dasar imandan mengharap pahala, maka diampuni
dosanya yang telah lalu.”
Keenam
“Puasa itu setengah kesabaran dan
kesucian itu setengahnya iman.”
Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi, no. 3519 dalam kitab ad-Da'awat, juga diriwatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnad beliau (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan
Juraisy an-Nahdhi dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini dha'if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang
yang majhul (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Madini
(lihat, Tahdzibut Tahdzib, 2/78 karya Ibnu Hajar)
Hadits dha'if lainnya yang senada yaitu:
“Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,
“rasulullah bersabda, “Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat Badan adalah
puasa. Puasa itu separuh kesabaran.” (HR. Ibnu Majah no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhan
dari Abu Hurairah)
Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya lemah
oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tahdzib,
10/318-320. Beliau ini seorang yang shahih dan ahli ibadah, akan tetapi
lemah dalam periwayatan hadits.
Al-Hafizh dalam kitab Taqrib-nya mengatakan, “Dha'if.”
Hadits yang sah tentang hal ini
adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki
dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang tersebut
terdapat kalimat:
“Berpuasalah pada bulan kesabaran
yaitu Ramadhan. (HR. Imam Ahmad dengan sanad
yang shahih).
Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah
dari Nabi, beliau bersabda tentang bulan Ramadhan:
bulan kesabaran (Ramadhan)”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/263,
384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam an-Nasa'i (3/218-210). Dan Hadits lain
lewat jalur periwayatan a'rabiyun sebagaimana dalam Majma'uz Zawaid (3/196)
oleh al-Haitsami.
Ketujuh
“Awal bulan Ramadhan itu adalah
rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan
dari api neraka” (HR. Ibnu Abi
Dunya, Ibnu Asakir, Dailami dan lain-lain lewat jalur periwayatan Abu Hurairah)
Hadits ini sangat lemah. Silakan lihat kitab Dha'if Jami'us Shagir, no.
2134 dan Faidhul Qadir, no. 2185
Kedelapan
“Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia
tidur di atas kasurnya.” (HR. Tamam)
Sanad hadits ini dha'if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin
Abdullah bin Zujaj dan Muhammad bin Harun bin Muhammad bin bakar bin Hilal.
Kedua oran ini tidak ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh
wat Ta'dil (yaitu kitab -kitab yang berisi keterangan tentang cela atau
cacat ataupun pujian terhadap para rawi). Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini
terdapat perawi yang bernama Hasyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang
perawi yang majhul (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana
dijelaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab beliau Mizanul I'tidal. Imam Uqaili
mengatakan, “Orang ini haditsnya mungkar”
Kesembilan
“Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
“Rasulullah apabila hendak berbuka, beliau mengucapkan :
Wahai Allah! Untuk-Mu kami berpusa
dan dengan rezeki dari-Mu kami berbuka, “Ya Allah ! Terimalah amal kami!
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Diriwayatkan oleh Daruquthni dalam kitab Sunan beliau, Ibnu Sunni
dalam kitab 'Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473 dan Thabrani dalam kitab
al-Mu'jamul Kabir)
Sanad hadits ini sangat lemah (dha'ifun jiddan), karena :
Pertama, ada seorang rawi yang bernama Abdul Malik bin Harun 'Antarah.
Orang ini adalah seseorang rawi yang sangat lemah.
- Imam Ahmad mengatakan, “Abdul Malik itu dha'if.”
- Imam Yahya, “Dia seorang pendusta (kadzdzab)
- Sementara Ibnu Hibban mengatakan, “Dia seorang pemalsu hadits.”
- Imam Sa'di mengatakan, “Dajjal (pendusta)
- Imam Dzahabi, “Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits.”
- Imam Abu Hatim mengatakan, “Matruk (orang yang riwayatnya
ditinggalkan oleh para Ulama).”
Kedua, dalam sanad hadit ini terdapat juga orang tua dari Abdul Malik
yaitu Harun bin 'Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan oleh para
Ulama ahli hadits. Imam Daruquthni menilainya lemah, sedangkan Ibnu Hibban
telah mengatakan, “Munkarul hadits (orang yang haditsnya diingkari),
sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.”
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar,
al-haitsami dan Syaikh al-Albani dan lain-lain. Silakan para pembaca melihat
kitab-kitab ; Mizanul I'tidal (2/666), Majma'uz Zawa'id (3/156
oleh Imam Haitsami), Zadul Ma'ad dalam kitab Shiyam oleh Imam Ibnu Qayyim dan Irwa'ul
Ghalil (4/36-39) oleh Syaikh al-Albani).
Hadits dha'if lainnya tentang doa berbuka yaitu :
“Dari Anas, beliau mengatakan,
“Rasulullah apabila berbuka, beliau mengucapkan :
Dengan nama Allah, Ya Allah
karena-Mu aku berpuasa dan dengan rezeqi dari-Mu aku berbuka.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Mu'jamus Shagir,
hlm. 189 dan al-Mu'jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dha'if),
karena
Pertama, dalam sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar
al-Bajali. Dia seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi mengatakan dalam kitab adh-Dhu'afa,
“Bukan hanya satu orang saja yang melemahkannya.”
Imam Ibnu 'Adi mengatakan, “Orang ini sering membawakan hadits-hadits
yang tidak boleh diikuti.”
Imam Abu Hatim mengatakan, “Orang ini lemah.”
Kedua, dalam sanadnya terdapat Dawud bin az-Zibriqan. Syaikh
al-Albani mengatakan, “Orang ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr
al-Bajali.”
Sementara itu, Imam Abu Dawud memasukkan orang ini ke golongan orang matruk
(orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits.).
Imam Ibnu 'Adi mengatakan, “Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang
ini tidak boleh diikuti.” (lihat, Mizanul I'tidal, 2/7)
Masih tentang doa berbuka, ada hadits dha'if lainnya yang senada yaitu :
“Dari Mu'adz bin Zuhrah, telah
sampai kepadanya bahwa Rasulullah apabila hendak berbuka, beliau mengucapkan :
Ya Allah, karena-Mu berpuasa dan dengan rezeki dari-Mu aku berbuka.
Hadits ini dha'if (lemah). Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 2358, al-baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah
dan Ibnu Sunni. Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda
dalam kalimat awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua penyebab :
Pertama, mursal.
Karena Mu'adz bin Zuhrah, seorang tabi'in bukan sahabat Rasulullah.
Kedua, juga karena Mu'adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhul,
tidak ada yang meriwaytkan hadits darinya selain Hushain bin bdurrahman.
Sementara Ibnu Abi Hatim dalam kitab beliau Jarh wat Ta'dil tidak
menerangkan tentang celaan maupun pujian untuknya.
Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayat pun yang sah tentang
doa berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini :
“Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah
apabila berbuka puasa, beliau mengucapkan :
Dahaga telah lenyap, urat-urat telah
basah dan pahala atau ganjaran tetap ada Insya Allah.
Hadits ini hasan riwayat Abu Dawud, no. 2357; Nasa'i, 2/66; Daruquthni,
ia mengatakan, “Sanad hadits ini hasan.” al-Hakim, 1/422 dan Baihaqi, 4/239.
Syaikh al-Albani sepakat dengan penilai Daruquthni terhadap hadits ini.
Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang yang meriwayatkan) hadits
ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Hasan bin Waqid. Dia seorang rawi
yang tsiqah namun memilki sedikit kelemahan sehingga tepatlah kalau
sanad hadits ini dinilai hasan.
Kesepuluh
“Barangsiapa yang ber'itikaf pada
sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhan, maka dia seperti telah menunaikan haji
dan umrah dua kali.”
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
kitab beliau Syu'abul Iman dari Husain bin Ali bin Thalib. Hadits ini maudhu'
(palsu).
Syaikh al-Albani dalam kitab belaiu Dha'if Jami'is Shagiir, no.
5460, mengatkan, “Maudhu.” Kemudian beliau menjelaskan penyebab kepalsuan hadit
ini dalam kitab Silsilah adh-Dha'ifah, no. 158
Hadits dh'if lain yang hampir senada yaitu :
“Barang siapa yang beri'tikaf atas
dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah
lewat.
Hadits dha'if riwayat Dailami dalam Musnad
Firdaus. Al-Munawi, dalam kitab beliau Faidhul Qadhir, Syarah Ja'mi'
Shagir (6/74, no. 8480) mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat rawi yang
tidak diketahui.
Kesebelas
“Sekiranya manusia mengetahui apa
yana ada pada bulan Ramadhan, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhan itu
sepanjang tahun.”
Maudhu'. Ini diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarir bin Ayyub al Bajali, dari
asy-Sya'bi dari Nafi' bin Burdah, dari Abu Mas'ud al-Ghifari- ia mengatakan,
“Suatu hari aku mendengar Rasulullah pernah bersabda, “(lalu beliau menyebutkan
hadits di atas).
Imam Ibnul Jauzi membawakan hadits di atas dalam kitab beliau al-Maudhu'at,
2/189 lewat jalur periwayatan Jarir bin Ayyub al Bajali dari Sya'bi dari
Nafi' bin Burdah dan Abdullah bin Mas'ud. Kemudian beliau mengatakan, “Hadits
ini maudhu' (palsu) dipalsukan atas nama Rasulullah. Orang yang tertuduh
telah memalsukan hadits ini adalah Jarir bin Ayyub.
Yahya mengatakan, “Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi sya-in)
Fadhl bin Dukain mengatakan, “ Dia
termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.”
An-Nasa'i dan Daruqthni mengatakan, “ Matruk (orang yang haditsnya tidak
dianggap)
Imam Syaukani dalam kitab al-Fawaidul Majmu'ah Fil Ahaditsil
Maudhu'ah, no. 254 mengomentari hadits diatas, “Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Ya'la lewat jalur Abdullah bin Mas'ud secara marfu'. Hadits ini
maudhu' (palsu). Kerusakannya ada pada Jarir bin Ayyub dan susunan
lafazhnya merupakan susunan yang biasa dinilai oleh akal bahwa itu hadits
palsu.
Kedua belas
“Tidak ada bulan yang datang kepada
kaum Muslimin yang lebih baik daripada Ramadhan. Dan tidak datang kepada kaum
Munafiqin bulan yang lebih buruk
daripada bulan Ramadhan.
Hadits ini dha'if.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/330, Fathurrabbani, 9/231-232), Ibnu
Khuzaimah, no. 1884 dan lain-lainnya. Semua riwayat ini melalui jalur Katsir
bin Zaid dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu'.
Al-Haitsami dalam kitabya Majma'uz Zawaid, 3/140-141 mengatakan,
“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani dalam kitanya al-Ausath
dari Tamim dan aku tidak menemukan riwayat hidup Tamim.” Maksudnya Tamim
(bapaknya Amr) seorang perawi yang majhul (tidak dikenali)
Dalam kita Mizanul I'tidal, 3/249, adz-Dzahabi mengatakan, “Amr
bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah tentang keutamaan bulan Ramadhan. Dan
dari Amr, hadits ini diriwayatkan oleh Katsir bin Zaid. Tentang Mar bin Tamim,
Imam Bukhari mengatakan, “Haditsya perlu diteliti (Fi Haditsil nazhar)
Ini adalah salah satu istilah Imam
Bukhari dalam mengkritik dan menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan
tetapi makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila Imam Bukhari mengatakan, “Fiihi
Nazhar atau fi haditsil nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah
atau bahkan sangat lemah.”
Ketiga belas
“Barangsiapa yang memilki tanggungan
shaum (puasa) Ramadhan, maka hendaknya dia mengqadha'nya dengan cara
berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling).
Hadits ini dha'if. Hadits ini
diriwayatkan oleh Daruquthni dalam Sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi
dalam Sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman dari bapaknya dari Abu
Hurairah (ia mengatakan), rasulullah bersabda : (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dha'if, karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qash adalah
seorang rawi yang dha'if.
Ad-Daruquthni mengatakan, Abdurrahman bin Ibrahim al Qash adalah
Idha'iful hadits (orang yang haditsnya lemah).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhisul Habir, 2/260, no.
920 mengatakan, Ibnu Abi Hatim telah menerangkan bahwa bapaknya yaitu Abu Hatim
telah mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.”
Al-Baihaqi mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qash) telah
dinilai lemah oleh Ibnu Ma'in, Nasa'i dan Daruquthni”
Adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I'tidal, 2/545, “Diantara
hadits-hadit mungkarnya adalah ...(kemudian beliau membawakan hadits diatas).
Ada juga hadits dha'if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha'if
diatas yaitu :
Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan,
“Sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang qadha' Ramadhan, “Jika ia mau, dia
bisa mengqadha' dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika ia mau, dia juga
mengqadha'nya secara berturut-turut (tanpa selang-seling).
Hadits ini dha'if. Hadits ini
diriwayatkan oleh Daruquthni, 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyan bin Bisyr,
ia mengatakan, “Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin
Umar dari Nafi dari Ibnu Umar, dia mengatakan : (seperti hadits diatas)
Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha'if karena Sufyan
bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhul, sebagaimana teah ditegaskan
oleh Syaikh al-Albani, karena beliau tidak mendapatkan riwayat hidupnya.
Kemudian Syaikh al-Albani mengatakan, “Ringkasnya tidak ada satu pun hadits
marfu' yang sah yang menerangkan (mengqadha' shaum Ramadhan) dengan
selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada
kebenaran) ialah boleh mengqadha' dengan cara keduanya sebagaimana pendapat Abu
Hurairah (Lihat Irwa'ul Ghalil, 4/97).
Demikian beberapa contoh hadits dha'if bahkan sebagainnya maudhu' yang
banyak beredar dan sering diulang-ulang penyampaiannya diatas mimbar pada bulan
Ramadhan. Semoga naskah singkat ini tidak lagi menjadikan hadit-hadits ini bisa
menjadi pengingat bagi kita untuk kita
untuk tidak lagi menjadikan hadit-hadit diatas sebagai hujjah dalam beramal.
Cukuplah bagi kita mengikuti hadits-hadits shahih atau hadits-hadits yang yang
layak dijadikan sebagai hujjah. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk
mengikuti Rasulullah dengan cara mengamalkan hadits-hadits tsabit (telah tetap)
dari Rasulullah.
- Majalah As-Sunnah no. 04-05/Th. XIV