Ahlan wa sahlan bagi pengunjung yang dirahmati Allah sekalian. Dipersilakan bagi pembaca atau pengunjung untuk menyebarkan isi atau meteri dari blog ini dengan menjaga amanat ilmiah, dengan mencantumkan link website ini. Semoga dapat menjadi amal kebaikan kita di akhirat kelak. Aamiin

Selasa, 17 Desember 2013

Apakah mengusap leher ketika berwudhu?



Teks Hadits:
مسح الرقبة أمان من الغل
( موضوع )
Mengusap leher waktu berwudhu dapat menyelamatkan dari belenggu pada hari kiamat kelak.”
(Palsu)


     Ini hadits maudhu' (palsu). Imam Nawawi (pengarang kitab Riyadhus Shalihin) dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab I/465, berkata, “Ini adalah hadits maudhu' dan bukan dari Nabi shallallahu 'alahi wasallam.
Ibnu Hajar (pengarang kitab Bulughul Maram) dalam kitab Talkhis al-Habir I/433, berkata, “ Abu Muhammad al-Juwaini menyatakan bahwa pakar hadits tidak meridhai dan tidak menerima sanadnya.”
Menurut Syaikh Al-Albani, semua hadits tentang keharusan membasuh leher saat berwudhu adalah munkar. Di samping lemahnya sanad dan kemajhulan (ketidaktahuan identitas) perawinya, juga sangat jelas hal itu bertentangan dengan hadits-hadits sahih yang mengisahkan tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu', yang tidak satu pun diantaranya menyebutkan bahwa beliau pun mengusap lehernya tatkala berwudhu.
     Adapun hadits yang menggambarkan sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara global adalah:
Dari Humran-bekas budak Utsman bin Affan-bahwasanya dia pernah melihat Utsman meminta air untuk berwudhu. Lalu dia menuangkan air ke tangannya dan mencucinya tiga kali. Lalu memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu. Kemudian beliau berkumur, menghirup air ke hidung, dan menyemburkannya lalu membasuh muka tiga kali, membasuh kedua tangannya hingga siku tiga kali, lale mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali. Utsman lalu berkata: “Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhukuu ini dan bersabda: “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini lalu shalat dua rakaat dan tidak berhadats di dalamanya niscaya dosanya yang telah lalu diampuni oleh Allah.” _HR. Bukhari dan Muslim
Makna Global:
     Hadits yang mulia ini mencakup sifat-sifat wudhu Nabi shallallahu 'laihi wasallam yang sempurna.
     Sedangkan Utsman radhiyallahu'anhu, karena pengetahuan dan pemahaman yang baik, mengajarkan kepada manusia sifat-sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan cara praktik agar pemahaman mereka mendalam dan menyempurnakan gambaran dalam ingatan mereka.
     Setelah selesai berwudhu dengan sempurna, Utsman juga memberitahukan bahwa barangsiapa yang berwudhu seperti wudhunya tersebut lalu shalat dua rakaat, dengan menghadirkan hari di hadapan Rabb 'Azza wa Jalla, maka Allah dengan segala keutamaan Yang Maha Tinggi akan memberikan balasan atas wudhu yang sempurna dan shalat yang ikhlas ini dengan mengampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Manfaat Hadits:
  1. Adanya pensyariatan membasuh kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam air wudhu ketika berwudhu.
  2. Mendahulukan bagian kanan dalam mengambil air wudhu untuk membasuh bagian-bagiannya.
  3. Pensyariatan berkumur-kumur, istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) sesuai urutan ini. Tidak adal perbedaan pendapat tentang pensyariatannya, tetapi terjadi perbedaan pendapat dengan wajibnya dan seperti yang telah dijelaskan adalah bahwa hal tersebut benar.
  4. Membasuh wajah tiga kali. Batasannya adalah dari tempat tumbuhnya rambut (pangkal rambut) di kepala sampai ke janggut secara vertikal, lalu dari telinga lain secara horizontal. Berkumur dan istinsyaq juga dilakukan tiga kali, karena hidung dan mulut termasuk bagian dari wajah. Sedangkan 'wajah' menurut orang Arab adalah apa yang termasuk dalam permukaan ketika mengahadap ke depan.
  5. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku-siku tiga kali.
  6. Mengusap keseluruhan kepala satu kali. Caranya menghadapkan kedua telapak tangan ke kepala lalu mengusapnya.
  7. Membasub kedua kaki sampai mata kaki tiga kali.
  8. Wajibnya terrtib/urut dalam melakukan hal tersebut. Allah menyisipkan perintah mengusap kepada diantara perintah membasuh anggota wudhu' yang lain. Tentang kepala yang termasuk dibasuh memiliki catatan tersendiri tentang tertib bagian-bagian wudhu'
  9. Sifat ini merupakan sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara sempurna
  10. Pensyariatan shalat secara berwudhu
  11. Sebab lengkap dan sempurnanya shalat adalah dengan hadirnya hati didepan Allah Ta'ala, yang mengandung anjuran untuk ikhlas, dan peringatan tentang tidak diterimanya shalat orang yang lengah, yang masih memikirkan urusan dunia, tidak melakukan shalat. Dan barangsiapa yang ketika shalat tiba-tiba muncul pikiran tentang duniawi lalu dia berusaha kuat untuk menyingkirkan pikiran tersebut, inilah yang akan mendapat pahala.
  12. Keutamaan berwudhu secara sempurna, karena ia sebagai penghapus dosa-dosa.
  13. Pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang melakukan keseluruhan urutan dunia ini, yakni berwudhu seperti yang telah dijelaskan dan shalat dua rakaat sesudahnya, dan tidak cukup hanya dengan melakukan salah satunya, kecuali ada dalil lain. Para ulama telah mengkhususkan bahwa dosa-dosa besar tidak dapat diampuni kecuali dengan taubat sebagaimana firman Allah,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلاً كَرِيماً
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil). (QS. An-Nisa': 31). Wallahu a'lam

Daftar Pustaka: 
Bassam, A. Syarah Hadits Hukum Bukhari Muslim, Alih bahasa oleh: Arif Wahyudi, dkk. 2010. Pustaka As-Sunnah: Jakarta
Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press, Hlm. 79-80

Rabu, 04 Desember 2013

Berdzikir dengan alat tasbih, Betulkah?


Teks Hadits:
نعم المذكر السبحة.
( موضوع )
Sebaik-baik alat untuk berdzikir adalah tasbih
[palsu]


     Hadits ini maudhu' (palsu). Telah diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam kitabnya Musnad al-Firdaus.
     Menurut saya, sanad hadits tersebut dari awal hingga akhir semuanya gelap, sebagian majhul (tidak diketahui identitasnya) dan sebagainya lagi tercela. Kemudian Ummu al-Hasan binti Ja'far tidak ada biografinya, sedangkan Abdu Somad bin Musa telah disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan seraya mengutip pertanyaan al-Khatib yan berkata bahwa para ulama telah menyatakannya sebagai perawi lemah. Kemudian lebih jauh lagi adz-Dzahabi berkata, “Abdus Somad juga terbukti meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari kakeknya, Muhammad bin Ibrahim.”
Menurut saya, barangkali itulah kelemahan hadits ini dari segi sanadnya. Namun maknanya adalah batil. Alasannya sebagai berikut:
  1. Tasbih (rosario: alat yang digunakan untuk bertasbih, tahmid, atau takbir; penj) itu tidak dikenal di jaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi merupakan sesuatu yang baru dan hal sangat mustahil jika Rasulullah memerintahkan (menganjurkan) sesuatu pekerjaan dengan menggunakan alat yang beliau dan para sahabatnya tidak mengetahuinya. Lagi pula kata itu asing dalam bahasa arab.
  2. Riwayat tersebut sangat bertentangan dengan hadits shahih yang mengisahkan bahwa Rasulullah bertasbih dengan tangan kanannya, dan dalam riwayat lain disebutkan dengan menggunakan jari-jemarinya.
     Ada sebuah polemik tentang penggunaan tasbih ini. Dikemukakan oleh asy-Syaukani bahwa terbukti ada hadits ini yang menerangkan bahwa penggunaaan batu kecil untuk menghitung dalam bertasbih telah diriwayatkan oleh para sahabat dan dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, berarti tidak ada perbedaan bertasbih menggunakan tasbih, bebatuan (batu kecil) tangan atau jari-jemari.
Menurut saya, kita akan segera membenarkannya dengan menerima pernyataan itu, bila terbukti hadits-hadits yang dijadikan landasan itu sahih.
Singkatnya, kedua hadits yang dijadikan landasan oleh asy-Syaukani itu dirwayatkan oleh as-Suyuthi dalam risalahnya.
  1. Dikisahkan dari Saad bin Waqash bahwa suatu ketika ia bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjumpai wanita tengah menghitung-hitung batu kecil di tangannya, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mudah bagimu dari ini atau yang lebih afdal (utama) ?” Lalu beliau bersabda, “Ucapkanlah subhanallah sebanyak mungkin...dan seterusnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, al-Hakim, dari sanad Umar bin Harits dari Said bin Hilal dari Khuzaimah). Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan. Sedang al-Hakim berkata, “ Hadits ini sahih sanadnya.” Mulanya adz-Dzahabi menyepakati pernyataan kedua rawi, namun ternyat salah. Sebab dalam kitab al-Mizan, adz-Dzahabi menyatakan bahwa Khuzaimah itu majhul. Kami tidak mengetahui tepatnya sebab ia meriwayatkan secara tunggal dari Said bin Hilal. Peryataan demikian juga diutarakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqrib. Bahkan oleh Imam Ahmad telah dinyatakan (bahwa Khuzaimah) sebagai tukang campur aduk riwayat. Kalau begitu, mana kesahihan ataupun kehasanan hadits tersebut ?
  2. Hadits ini diriwayatkan oleh Shafiyah. Dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumah menjumpai Shafiyah, istrinya yang ditangannya ada empat ribu batu kecil. Kemudian beliau bertanya, “Apa gerangan yang ada di tanganmu wahai kekasihku ?” Aku (Shafiyah) menjawab, “Aku gunakan untuk bertasbih.” Beliau bersabda, “Sungguh aku bertsbih lebih dari jumlah yang ada padamu itu.” Aku katakan pada beliau, “Kalau begitu ajarilah akau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah subhanallah sebanyak makhluk yang telah diciptakan Allah (maksudnya sebanyak mungkin; penj)” (HR Tirmidzi, al-Hakim, dan lain-lain). Kemudian Tirmidzi berkata, Hadits ini gharib (asing). Kami tidak mengetahuinya kecuali hanya satu sanad.”
     Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqrib berkata, “Hadits ini dha'if, dan Kunanah (seorang sanadnya) majhul (tidak dikenal) serta tidak ada yang menguatkannya kecuali Ibnu Hibban (yang dikenal sebagai di kalangan pakar hadits sebagai orang yang ringan dalam menguatkan hadits; penj)”
   Selanjutnya, sebagai bukti akan kelemahan kedua hadits tadi adalah karena ia bertentangan dengan hadits shahih yang warid dalam sahih Muslim, 83-84, Tirmidzi IV/274 dengan menshahihkannya, dan Ibnu Majah I/23, serta musnad Imam Ahmad 6, 325, 429. Di samping itu, terbukti kesahihan hadits ada dalam kitab Ash-Shahihah bahwa sahibul kisah adalah Juwairiyah, bukannya Shafiyah. Kedua batu-batu kecil tidak ada, alias mungkar.
    Khulasah polemik ini ialah bahwa unsur bid'ah ingin dikuatkan dan lebih ditonjolkan kemoderatannya, dengan maksud meninggalakan sunnah. Pada prinsipnya, satu alasan saja untuk menyanggah mereka telah lebih dari cukup yakni bukankah apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih afdhal ketimbang ajaran buatan manusia biasa, siapapun orangnya? Subhanallah

(Sumber rujukan: Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press, hal.88-91)

Rabu, 13 November 2013

Apakah Hewan Qurban itu Tunggangan di Shirathal Mustaqim?


 
Teks Hadits:
عظموا ضحاياكم فإنها على الصراط مطاياكم
( لاأصل له بهذا اللفظ )

Besarkan hewan qurban kalian, karena sesungguhnya itu merupakan tunggangan kalian pada shirathal mustaqim.”
(Tidak ada asal-usulnya dengan lafazh ini)

      Hadits ini tidak ada sumbernya. Ibnu Shalah berkata, “Hadits ini tidak dikenal di kalangan pakar hadits dan tidak pula berbakti kebenarannya.”
      Menurut saya, kitab al-Firdaus mengeluarkannya dengan lafazh istafrihuu sebagai pengganti lafazh azh-zhimmu. Di samping itu sanadnya lemah sekali.
 
(Sumber rujukan: Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press)
         


 

Selasa, 08 Oktober 2013

Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhan-nya. Benarkah?


من عرف نفسه فقد عرف ربه .
( لا أصل له )
Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhan-nya.
[tidak ada asalnya]


       Hadits diatas tidak ada sumbernya. Demikian perkataan Imam Nawawi (penulis Kitab Riyadhus Shalihin) sambil menyatakan bahwa hadits ini tidak ada kepastian sumbernya. Bahkan konon termasuk ucapan yang disandarkan kepada Yahya bn Mu'adz ar-Razi. Imam as-Suyuthi dalam kitab Dzailul Maudhu'at halaman 203 menyepakati Imam Nawawi. Oleh Ibnu Taimiyah hadits ini dinyatakan maudhu'. Fairuz Badi menyatakan bahwa itu bukan hadits nabawi, namun kebanyakan orang mengatakannya sebagai hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Anggapan itu tidaklah benar. Yang jelas, ia termasuk israiliat yang isinya antara lain, “Wahai manusia, kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu.”
Demikian, bahwasanya hadits diatas bukan perkataan Nabi dan tidak sejatinya seorang muslim meyakininya dan menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat. Walahu a'lam.

Sumber rujukan: Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press


Senin, 12 Agustus 2013

Perselisihan adalah Rahmat?


Teks Hadits
 
إختلاف أمتي رحمة . ( لا أصل له)
Perselisihan di antara umatku adalah rahmat. [tidak ada asalnya]





Hadits ini tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan, “ Hadits tersebut tidak dikenal di kalannga para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang shahih, dha'if, maupun maudhu'. Pernyataan it ditegaskan dan disepakati Syeikh Zakaria al-Ansshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situ ia mengatakan, “Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti.” Ibnu Hazem dalam kitab al-Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, “Ini bukan hadits.” Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan itu rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu kutukan. Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslim yang berpikir tengan dan teliti. Masalahnya, ada dua alternatif, yakni bersepakat atau berselisih, yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan).
Menurut saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi Umat Islam dari masa ke masa. Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar madzhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut madzhab yang fanatik tidak segan-segannya mengafirkan pengikut madzhab yang lain. Anehnya, jangankan para pengikut madzhab, para pemimpin atau para ulama pun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang shahih. Padahal, itulah yang diperintahkan oleh para Imam Madzhab yang mereka ikuti. Imam-imam yang menjadi panutan mareka itu telah dengan tegas berpegang hanya kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, ijma' dan qiyas. Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, “Bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku bertentangan dengan Al-Qur-an dan Sunnah yang sahih, ikutilah Qur-an dan Sunnah serta campakkanlah ijtihad dan pendapatku. Itulah mereka.
Ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada sumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat. Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur-an serta mencamkan firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 82 yang artinya:
... Kalau sekiranya Al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah. Tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya. (an-Nisa': 82)
Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikiaan, bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? Laa haula wala quwwata illa billah!
Karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam -khususnya dewasa ini- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur-an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan.
Ringkasnya, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkan dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti difirmankan Allah:
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu ….” (al-Anfal: 46)
Adapun merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat jelas sekali menyalahi ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits sahih. Dan nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak bersumber dari Rasulullah.
Barangkali muncul pertanyaan: para Sahabat Rasulullah telah berselisih pendapat, padaahal mereka adalah seutama-seutamanya manusia. Lalu apakah mereka juga termasuk yang dikecam Al-Qur-an dan Sunnah? Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Ibnu Hazem: Tidak! Sama sekali, tidak! Mereka tidak termasuk yang dikecam Al-Qur-an dan Sunnah, sebab mereka masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya semata. Di antara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah diadakan dosa atas mereka karena ada kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa? Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang mendapat baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat nanti.
Adapun kecaman dan ancaman yang ada dalam Al-Qur-an dan Sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada Si Fulan dan si Fulan. bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak fanatisme sempit ala jahiliyah demi menyuburkan firqah. Mereka sengaja menolak Al-Qur-an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka kembali pada ashabiyah jahiliyahnya.
Karena itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semuai itu bila Anda mengharap kesalamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Lihat al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam, V/67-68). 
wallahu a'alam bishawab, walhamdulillahi rabbil 'alamin
sumber: Silsilah Hadits Dhaif dan Muadhu' jilid 1, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.68) 

Jumat, 21 Juni 2013

Hadits Tentang Keutamaan Berziarah ke Makam Rasulullah Setelah Haji


contoh gambar  yang dialamatkan sebagai makam Rasulullah, padahal sejatinya bukan makam beliau.

Teks Hadits

من حج فزار قبري بعد موتي كان كمن زارني في حياتي . وزاد ابن عدي وصحبني
. ( موضوع )
Barangsiapa menunaikan ibadah haji kemudian menziarahi kubur-ku sepeninggalku, ia seperti menziarahiku ketika aku masih hidup. 
 [palsu]

Ini juga hadits maudhu’ (palsu). Ath-Thabrani telah meriwayatkan dalam al-Mu’jamul Kabir II/203 juga ad-Daru Quthni dalam Sunan halaman 279 dan Imam Baihaqi V/246 dan semuanya dari sanad (jalur) Hafsh bin Sulaiman dari Laits bin Abi Sulaim.
Menurut saya, hadits ini sangat lemah. Sebabnya:
1.       Lemahnya (hafalan) Laits bin Abi Sulaim, karena terbukti mencampur aduk hadits.
2.      Hafsh bin Sulaiman yang dinamakan juga al-Gadhri sangat lemah seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqrib, bahkan Ibnu Muin menyatakan sebagai pendusta dan pemalsu hadits.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa seluruh hadits yang berkenan dengan ziarah ke makam Rasulullah sangat lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (argumen). Lebih jauh Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kebohongan hadits ini sangat jelas. Sebab, siapa saja yang menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya dan dia seorang mukmin, berarti ia sahabat beliau. Apalagi bila ia termasuk orang yang hijrah bersama beliau atau berjihad bersamanya. Maka telah dinyatakan oleh beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (yang artinya):
“Jangan kalian mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Zat yang aku di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian ada yang membelanjakan hartanya berupa emas sebesar Gunung Uhud, itu tidak akan mencapai secupak jasa-jasa mereka atau bahkan separonya.”
Jadi, siapa pun orang setelahnya generasi sahabat tidaklah dapat menandingi apalagi melebihi derajat keutamaan sahabat, terutama dalam menjalankan ibadah yang bersifat wajib.
Peringatan:
Banyak orang menyangka bahwa Ibnu Taimiyah dan umumnya kaum salafiyah melarah berziarah ke makam Rasul. Ini dusta dan merupakan tuduhan palsu. Orang yang menulusuri dan membaca kitab-kitab karangannya akan mengetahui secara pasti bahwa ia sangat menganjurkan dan menyutujui ziarah ke kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama ia tidak dibarengi dengan amalan-amalan bid’ah (perkara baru dalam agama yang tidak sesuai dengan bimbigan Rasulullah).

Wallahu'alam bish shawab, wal hamdulillahi rabbil 'aalamin

sumber:
Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Muadhu' Jilid I. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press. Hlm. 62-63 dengan sedikit perubahan dan tambahan.



Sabtu, 15 Juni 2013

Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman?




Teks Hadits
حب الوطن من الإيمان (موضوع)
Cinta tanah air sebagian dari iman. [palsu]

Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Dinyatakan oleh Ash-Shaghani bahwa hadits ini maudhu' (palsu). Di samping itu, maknanya tidak benar, sebab mencintai tanah air sama dengan mencintai jiwa raga dan harta benda. Yang demikian itu hal naluriah bagi setiap insan dan tidak perlu diagung-agungkan, apalagi dikatakan termasuk sebagian dari iman. Kita dapat melihat bahwa rasa cinta tanah air ini tidak bedanya antara orang mukmin dengan orang kafir.

Rabu, 12 Juni 2013

Hadits Tentang Sayur-Mayur

--> Muhammad Nashiruddin Al-Albani



Teks Hadits:


(زينوا موائدكم بالبقل فإنه مطردة للشيطان مع التسمية (موضوع

Hiasilah hidangan makan kalian dengan sayur-mayur karena itu merupakan pengusir setan sambil mengucap asma Allah. [palsu]


Hadits ini maudhu’. Ia diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Nashir ad-Dimasqi dalam kitab al-Fawa’id II/229 dan Abu Naim dalam kitab Akhbar al-Asbahan II/216 dan sebagian sanad Ala bin Maslamah.
Menurut saya, hadits ini maudhu’. Karena telah dinyatakan oleh pakarr hadits, di antaranya Ibnu Hibban dan adz-Dzahabi bahwasannya Ala adalah pemalsu dan tukang mencampur-aduk hadits. Bahkan Ibnu Hibban menambahkan bahwa tidaklah dapat dianggap shahih jika riwayat tersebut dijadikan hujjah (argumen-pen). Oleh Ibnul Jauzi riwayat tersebut ditempatkan dalam deretan hadits-hadits maudhu’. Beliau mengatakan, “Riwayat ini tidak ada sumbernya dalam hadits shahih dan Ala sendiri termasuk deretan pemalsu hadits.”
Wallahu a’lam bis shawab. Segala puji hanya milik Allah Ta’ala semata.








Sabtu, 19 Januari 2013

Hadits tentang Dosa sambil Tertawa

-->
oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah

من أذنب وهو يضحك دخل النار وهو يبكي (موضوع)


Barang siapa berbuat dosa sambil tertawa, pastilah ia masuk neraka sambil menangis. [Hadits Palsu]



      Hadits di atas adalah maudhu' (palsu). Ia diriwayatkan oleh Abu Naim. Dalam sanadnya (asal-muasal/jalur periwayatan hadits) terdapat Umar bin Ayyub dari Muhammad bin Ziyad. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa ia (Umar bin Ayyub) telah dikecam oleh Ibnu Hibban.

Wallahu a'lam bish shawab, wal hamdulillaahi rabbil 'aalamin

sumber:
Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Muadhu' Jilid I. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press. Hlm. 45