Ahlan wa sahlan bagi pengunjung yang dirahmati Allah sekalian. Dipersilakan bagi pembaca atau pengunjung untuk menyebarkan isi atau meteri dari blog ini dengan menjaga amanat ilmiah, dengan mencantumkan link website ini. Semoga dapat menjadi amal kebaikan kita di akhirat kelak. Aamiin

Senin, 15 Desember 2014

Adakah Anjuran Adzan di telinga si Bayi?




من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان
(موضوع)
"Barangsiapa dianugerahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin."
(Hadits Palsu)

Hadits ini maudhu'. Ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab Amalul Yaumi wal Lailati halaman 200 dan juga oleh Ibnu Asakir II/182, dengan sanad dari Abu Ya'la bin Ala ar-Razi, dari Marwan bin Salim, dari Thalhah bin Ubaidillah al-Uqalli, dari Husain bin Ali radhiyallahu'anhu.

Menurut saya, sanad tersebut maudhu' sebeb Yahya bin Ala dan Marwan bin Salim dikenal sebagai pemalsu hadits. Disamping itu, dalam periwayatan hadits diatas ada semacam unsur meremehkan atau menggampangkan masalah. Hal itu diutarakan oleh al-Haitsami dalam kitab Majma' az-Zawa'id IV/59, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam sanadnya terdapat Marwan bin Sulaiman al-Ghiffari yang oleh para Muhadditsin riwayatnya ditinggalkan atau tidak diterima. Al-Manawi, pensyarah (penjelas) kitab Al-Jami'us Shaghir berkata, “Hadits ini dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ala al-Bajali ar-Razi.” Adz-Dzahabi dalam kitab adh-Dhu'afa wal Matrukin berkata, “Ia pendusta dan pemalsu.” Itulah yang dinyatakan oleh Imam Ahmad.

Menurut saya, kepalsuan hadits diatas banyak diketahui ulama. Buktinya banyak ulama kondang yang mengutarakan hadits diatas tanpa menyebutkan kepalsuannya dan kelemahannya. Hal ini terutamanya dilakuka oleh ulama penulis atau pembuat kitab-kitab wirid atau kitab-kitab fadha'il. Misalnya, Imam Nawawi mengungkapkan hadits tersebut dengan perawi Ibnu Sunni namun tanpa memberi isyarat atau komentar akan kelemahan dan kapalsuannya. Begitu pula dengan pensyarahan yakni Ibnu Ala. Ia pun tidak menyinggung tentang sanadnya sama sekali.

Setelah itu datanglah ulama generasi berikutnya Ibnu Taimiyah yang dapat dilihat dalam kitab al-Kalimatuth Tahyyib yang diikuti oleh muridnya Ibnu Qayyim yang diutarakan dalam kitab al-Wabilush Shayyib. Namun keduanya menyinggung seraya berkata dalam sanadnya terdapat kelemahan. Setelah keduanya, datanglah generasi ulama berikutnya atau bahkan diam seribu bahasa dalam mengomentari sanad hadits tersebut.

Pada prinsipnya, sekalipun keduanya (Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim) telah terbebas dari aib mendiamkan hadits atau riwayat dha'if, namun tetap tidak bebas dari pengungkapan kedha'ifan suatu hadits. Maksudnya, bila mengetahui kedha'ifan hadits tadi mengapa mereka masih mengutarakannya? Itu berarti hanya merupakan pernyataan kedha'ifan hadits tersebut dan bukannya menunjukkan akan kepalsuannya. Bila tidak demikian, maka sudah sepantasnya kedua imam yang agung itu tidak mengutarakan hadits tersebut diatas. Inilah yang pasti akan dipahami oleh orang-orang yang meneliti dan mau menelaah kitab atau karya tulis kedua imam tadi.

Yang membuat saya khawatir ia para ulama generasi sesudah beliau menjadi terkecih hingga dengan lantang berkata, “Tidak apa-apa, karena hadits dha'if pun dapat dipakai untuk mengamalkan fadha'ilul a'mal (amalan-amalan yang mulia).” yang terjadi kemudian, bahkan hadits itu dijadikan penguat hadits dha'if lainnya dengan meremehkan syarat mutlak harus ada yaitu hendaknya apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanad dha'if (lemah) dari Abu Rafi' yang berkata, “Aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fathimah binti Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.” Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini sahih dan hendaknya diamalkan dengan dasar hadits tersebut.”

Kemudian pensyarahan, yakni al Mubar Kafuri setelah menjelaskan kelemahan sanadnya dengan dasar pernyataan para ulama, berkata, “Bila ditanya, “Bagaimana mungkin dapat diamalkan sedangkan hadits itu lemah, akan tetapi menjadi kuat dengan adanya riwayat lainnya yaitu hadits dari Husain bin Ali radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la al-Mushaili dan Ibnu Sunni.”

Coba Anda perhatikan! Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau dapat dikuatkan dengan adanya hadits palsu? Dari mana datangnya kaidah tersebut? Sungguh yang demikian itu tidak ada kamusnya dalam sejarah para muhadditsin pada masa lalu hingga hari kiamat nanti. Menurut saya, yang demikian itu dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal kepalsuan hadits Husain bin Ali diatas dan juga karena terkecih oleh komentar atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal atau ulama yang dianggap menjadi panutan. Memang benar untuk menguatkan hadits Abi Rafi' yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi itu adalah dengan adanya riwayat atau hadits Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu yaitu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengumandangkan adzan pada telinga kirinya (hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Baihaqi dalam kitab Syu'abul Iman berbarengan dengan hadits Hasan bin Ali). Kemudian Baihaqi berkata, “Kedua hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kelemahan.”[1]

Setelelah kita mengetahui kelemahan hadits diatas, maka selayaknya seorang muslim tidak melakukannya, karena dalil yang menjadi landasannya ialah tidak valid dari Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wasallam.

Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.


Faiz
di Pagi Hari Sabtu yang Berkah
22 Muharram 1436 H / 15 November 2014

___________

[1] Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 258-260. Gema Insani Press: Jakarta.
[2] Rumaysho.com (judul Kritik: Anjuran Adzan di telinga Bayi)



Kamis, 20 November 2014

Adakah Keutamaan Surat Al-Waqi'ah?




من قرأ سورة { الواقعة } في كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا
 
(ضعيف)


Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan ditimpa kefakiran selama-lamanya.
(Lemah)


Hadits ini dha'if. Al-Harits bin Abu Usamah meriwayatkannya dalam Musnadnya, juga Ibnu Sunni dalam kitab 'Amal al-Yaumi wal-Lailati dengan nomor 674, juga baihaqi dalam kitab asy-Syi'b dengan sanad dari Abu Syuja', dari Abi Thayyibah, dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu.

Sanad hadits ini dha'if. Adz-Dzahabi berkata bahwa Abu Syuja' Nakrah tidak dikenal. Kemudian siapakah Abu Thayyibah? Di kalangan muhadditsin (ulama ahli hadits -ibnu khalid) nama itu tidak dikenal. Karena itu, dalam mengutarakan biografinya adz-Dzahabi dengan tegas menyatakan, “Majhul!” (tidak dikenal identitasnya -ibnu khalid).

Adapun az-Zaila'i berkata, “Kelemahan hadits ini ada empat. Pertama terputusnya sanad (jalur periwayatan -ibnu khalid), seperti yang ditegaskan oleh Daru Quthni. Kedua, munkarnya matan hadits tersebut, seperti yang ditegaskan oleh Ibnul Jauzi. Keempat, ketidakpastian rawi-rawi (periwayat hadits - ibnu khalid) sanadnya, hingga telah menjadikan Imam Ahmad, Abu Hatim, Daru Quthni, Baihaqi, dan sebagainya sepakat memvonis sebagai hadits yang dha'if yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil).

من قرأسورة { الواقعة } كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا ومن قرأ كل ليلة { لا أقسم بيوم القيامة } لقي الله يوم القيامة ووجهه في صورة القمر ليلة البدر
(موضوع)
Barangsiapa membaca surat Al-Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan tertimpa kefakiran selama-lamanya, dan barang siapa membaca surat laa uqsimu bi yaumil qiyamah setiap malamnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan menjumpai Allah dengan wajah bagaikan bulan purnama.
(maudhu)

Hadits ini maudhu'. Ad-Dailami meriwayatkannya dengan sanad dari Ahmad bin Umar al-Yamani dengan sanad dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu.

Hadits ini oleh as-Suyuthi ditempatkan dalam kitab Dzail Ahadits al-Maudhu'ah halaman 177 dengan berkata, “Ahmad bin Umar al-Yamani adalah pendusta.”

من قرأ سورة { الواقعة } وتعلمها لم يكتب من الغافلين ولم يفتقر هو وأهل
بيته
(موضوع)
Barangsiapa membaca surat Al-Waqiah  dan mempelajarinya, maka ia tidak dicatat masuk dalam golongan orang-orang yang lalai, dan dia serta keluarganya tidak akan tertimpa kefakiran.
(Palsu)

Hadits ini maudhu'. As-Suyuthi meriwayatkan dan menempatkannya dalam Kitab Dzail Ahadits al-Maudhu'ah halaman 277, dengan perawi Abi Syekh dengan sanad dari Abdul Quddus bin Habib, dari al-Hasan, dan dari Anas rasdhiyallahu'anhu.

As-Suyuthi berkata, “Abdul Quddus bin Habib tidak diterima riwayatnya oleh para muhadditsin.”

Abdur Razzaq berkata, “Saya belum pernah mendengar Ibnul Mubarak dengan fasih melafzhkan ucapan al-kadzdzab (pendusta) kecuali ketika ucapannya dengan tertuju kepada Abdul Quddus .” Bahkan Ibnu Hibban dengan lantang mengucapakan bahwa dia (Abdul Quddus) ini telah banyak membuat hadits palsu.[1]

Setelah kita mengetahui beberapa hadits diatas bahwa Surat Al Waqi'ah yang sering dibaca sebagian masyarakat tidaklah memiliki landasan yang kuat, bisa jadi mereka mengamalkan hadits diatas. Terdapat perkataan yang patut kita renungkan, Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sejelek-sejelek cita-cita adalah jika kamu ingin mencari dunia dengan amalan akhirat [2]. Sufyan ats-Tsauri mengatakan berdasarkan pengalaman dalam bidang ilmiah dan lapangan, besar kemungkinan di jaman beliau telah ada praktek-praktek seperti jaman sekarang ini. Sungguh cita-cita yang rendah untuk mengejar dunia dengan amalan akhirat yang tinggi. Maka bahagia seorang muslim jika beramal shalih ditujukan murni hanya kepada Allah. Rabb kita yaitu Allah Ta'ala menyatakan dalam kitab-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (Al Bayyinah: 5). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah berkata atas tafsir ayat diatas, “Mencari wajah Allah dalam seluruh ibadah, baik yang zahir maupun yang batin, serta ingin mendekat disisi-Nya... .” [3]

Maka seorang muslim dalam segala tindakannya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah seyogianya untuk mengikhlaskan hanya kepada Allah demi mendapatkan ganjaran kelak dan mencontoh suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian, semoga yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a'lam. Washallallahu 'wa sallam 'ala nabiyyina muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihi ajma'iin walhamdulillahi rabbil 'alamiin.


Faiz,
Hamba Allah
Malam yang berkah, Jember
3 Dzulqa'dah 1435 H / 28 Agustus 2014



____________
Footnote
[1] Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 234-236, Gema Insani Press: Jakarta.
[2] Mutiara Hikmah Ulama Salaf [Bagian 24], diunduh dari terjemahkitabsalaf.wordpress.com
[3] Tafsir Al-Qur'an, Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, hal. 615, Pustaka As-Sahifa: Jakarta

Rabu, 21 Mei 2014

Apakah Nabi Merapikan Jenggotnya?


كان يأخذ من لحيته من عرضها وطولها   
 ( موضوع ) _
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengurangi panjang dan lebar jenggotnya (maksudnya selalu merapikannya).
[palsu]


Hadits ini maudhu' (palsu). Ia diriwayatkan oleh Tirmidzi III/11 dan al-Uqaili dalam kitab Dhu'afa halaman 288, dan Ibnu Adi II/243, dengan sanad dari Umar bin Harun al-Balakhi, dari Usamah bin Zaid dari Amir bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Tirmidzi berkata, “Hadits ini hadits gharib.”

Umar bin Harun telah disebutkan dalam kitab al-Mizan, bahwa Ibnu Muin berkata, “Ia pendusta dan keji.” Adapun Shaleh Jazrah berkata, “Umar bin Harun pendusta,” seraya menyebutkan hadits riwayat ini.

Saudaraku yang senatiasa dirahmati oleh Allah Tabaraka wata'ala, sudah menjadi maklum bahwa Laki-laki dan wanita diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam keadaan yang berbeda. Mengapa demikian? Karena sudah menjadi fitrah bahwa Allah menciptakan laki-laki dengan badan yang tampan, kuat, gagah, wibawa dan seterusnya, adapun wanita telah Allah subahanahu wata'ala dengan perangai yang halus, cantik, kasih sayang. Itulah perbedaan antara laki-laki dan wanita. Lalu bagaimana dengan pribadi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menjadi sosok tauladan di muka bumi ini? Bukankah orang-orang kafir mengakui akan keagungan pada diri beliau dan sosok yang berpengaruh di muka bumi ini?

Apabila kita menengok ke dalam sejarah kehidupan beliau dan para shahabatnya, maka akan tercermin perbedaan yang menunjukkan identitas seorang muslim dan orang kafir dari segi penampilan. Allah subhanahu wata'ala telah menciptakan jenggot sebagai fithrah, sebagaiman dalam firmanNya (yang artinya):
'Tidak ada perubahan pada fithrah Allah.' (QS. Ar-Ruum: 30). Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu ia berkata, “Rasulullah bersabda, 'Cukur habis kumis, peliharalah jenggot, dan berbedalah dengan kaum Majusi (penyembah api). [1]
Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)
Lihatlah saudaraku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas dengan sangat jelas terlihat memiliki jenggot. Lalu pantaskah orang berjenggot dicela?!
dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)

Selain dalil-dalil di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat tidak suka melihat orang yang jenggotnya dalam keadaan tercukur.

Ketika Kisro (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya,”Celaka kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata, ”Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Akan tetapi, Rabb-ku memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.” (HR. Thabrani, Hasan. Dinukil dari Minal Hadin Nabawi I’faul Liha)

Lihatlah saudaraku, dalam hadits yang telah kami bawakan di atas menunjukkan bahwa memelihara jenggot adalah suatu perintah. Memangkasnya dicela oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurut kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqh, ”Al Amru lil wujub” yaitu setiap perintah menunjukkan suatu kewajiban.  Sehingga memelihara jenggot yang tepat bukan hanya sekedar anjuran, namun suatu kewajiban. Di samping itu, maksud memelihara jenggot adalah untuk menyelisihi orang-orang musyrik dan Majusi serta perbuatan ini adalah fithroh manusia yang dilarang untuk diubah.

Berdasar hadits-hadits di atas, memelihara jenggot tidak selalu Nabi kaitkan dengan menyelisihi orang kafir. Hanya dalam beberapa hadits namun tidak semua, Nabi kaitkan dengan menyelisihi Musyrikin dan Majusi. Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa perintah memelihara jenggot dikaitkan dengan menyelisihi Yahudi.

Maka sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan perintah Nabi dan celaan beliau terhadap orang-orang yang memangkas jenggotnya. Jadi yang lebih tepat dilakukan adalah memelihara jenggot dan memendekkan kumis. [2]

Para Nabi, Orang-orang shalih, itu memelihara jenggot, sedangkan orang kafir tidak memeliharanya, bila kita dihadapkan 2 (dua) pilihan ini, manakah yang akan menjadi pilihan kita? Bukankah pilihan yang pertama wahai saudaraku?, karena kita berharap akan dikumpulkan oleh Allah bersama mereka ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, dan berlindung dikumpulkan bersama orang-orang kafir di Neraka -semoga Allah melindungi kita darinya-. Demikian sajian singkat tentang masalah identitas seorang laki-laki yaitu jenggot, dan semoga Allah memberi taufik dan kemudahan kitan untuk mengamalkan ajaran Nabi-Mu dan dikumpulkan bersamanya serta orang-orang shalih. Aamiin. Semoga ada manfaatnya.


Pagi hari yang penuh berkah,
Jember,
Ahad, 11 Rajab 1435 H / 11 Mei 2014


[1] Tamamul Minnah, Abu Abdurrahman 'Adil bin Yusuf al-Azzazi, Pustaka As-Sunnah, Jakarta, hlm. 87-88
[2] Perintah Nabi agar memelihara Jenggot, artikel rumaysho.com














Selasa, 06 Mei 2014

HADITS LEMAH TENTANG “PUASALAH KALIAN, NISCAYA AKAN SEHAT”





صوموا تصحوا
(ضعيف)

Berpuasalah kalian, niscaya kalian sehat.
(Hadits Lemah)

Pembahasan
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa Ta'ala yang telah menganugerahkan kepada kita semua untuk semangat mencari kebenaran, yaitu Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih. Dan shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah mencurakan kehidupan beliau untuk tegaknya Agama Islam.
 
Dalam pembahasan kali ini, kita akan membahas sebuah hadits yang tidak asing didengar oleh telinga kita yakni tentang berpuasa bisa sehat. Benarkah hadits itu lemah? Lalu bagaimana dengan rahasia di balik puasa itu? Hadits diatas dikategorikan lemah bukan karena tiada sebab, tidak lain dalam jalur periwayatannya (sanad) ada perawi (yang meriwayatkan) itu lemah. Al-Iraqi menyatakan dalam Takhrij al-Ihya' III/75. Sudah maklum bahwa Kitab al-Ihya' karangan Imam Al-Ghazali -semoga Allah merahmatinya- populer di masyarakat Indonesia, namun ibarat peribahasa tiada gading yang tak retak, yakni sayangnya kitab tersebut tidak lepas dari kekurangan, karena Imam Ghazali memasukkan hadits-hadits yang belum teruji validitasnya (shahih), maka dari itu kami menghimbau kaum muslimin untuk tidak serta-merta menerima hadits yang ada dalam kitab Ihya' Ulummuddin dan menanyakan kepada Ahli Ilmu yang berkompeten dalam Ilmu Hadits. Syaikh Al-Albani berkata, “Riwayat ini telah dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitab al-Awsath dan oleh Abu Naim dalam kitab ath-Thib an-Nabawi dari Abu Hurairah radhiyallahu'ahu dengan sanad yang dhai'f (lemah).
Setelah kita mengetahui bahwa hadits tersebut tidak bisa dipakai sebagai sandaran, maka apakah ada hadits-hadits tentang keutamaan puasa? Alhamdulillah Agama Islam adalah agama yang complete, keutamaan puasa terdapat dalam kitab-kitab induk hadits, diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Dari Abu Said radhiyallahu'anhu dia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Tiada seoranghamba pun yang berpuasa satu hari dengan niat fisabilillah (ikhlas) melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka karena puasanya tadi sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (Muttafaq 'alaihi, Lihat Riyadhus Shalihin No, 1237)
  • Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dalam sebuah hadits, (lafazhnya) mengatakan, “Aku berkata, Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amal yang dengannya aku masuk surga.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Berpuasalah karena puasa tidak ada yang menyamainya.' (Dan rawi hadits ini) berkata, 'Di rumah Abu Umamah di siang hari tidak pernah terlihat asap kecuali jika dia kedatangan tamu'.” (Shahih Targib wa Tarhib No.986)
  • Dari Hudzaifah radhiyallahu'anhu, dia berkata, Aku menyadarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke dadaku, maka beliau bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha illallah, (lalu) dengan itu (hidupnya) ditutup untuknya, maka dia masuk surga. Barangsiapa berpuasa satu hari demi mencari Wajah Allah, dengan itu (hidupnya) ditutup untuknya, maka dia masuk surga. Barangsiapa bersedekah dengan satu sedekah demi mencari Wajah Allah, dan dengan itu (hidupnya) ditutup untuknya, maka dia masuk surga.” (HR. Ahmad, Lihat Shahih Targib wa Tarhib No. 985)

    Demikian diantara hadits-hadits tentang keutamaan puasa, namun sejatinya masih banyak hadits-hadits bila mau merujuk kepada kitab, yaitu Shahih Targhib wa Tarhib karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, buku hadits yang disusun tentang anjuran dan ancaman. Ini perantara seeorang muslim dapat memadukan antara rasa khauf (takut) dan raja' (harap) dan alhamdulillah tersedia terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan diantara manfaat puasa ditinjau dari kesehatan adalah membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukkan dan kelebihan lemak di perut.(1) Namun perlu diketahui bahwa tujuan seorang muslim beribadah hanyalah mengharap ridha Allah semata agar dihapuskan dosa-dosanya atau mendatangkan pahala di akhirat kelak.
Demikianlah pembahasan sekelumit hadits tentang keutamaan puasa dan manfaat puasa bagi kesehatan. Semoga bermanfaat bagi kita semua agar supaya meningkatkan ilmu dan amaliah kita. Kebenaran itu datangnya dari Allah dan kesalahan itu datangnya dari penulis pribadi. Wallahu 'alam bish shawab, segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.

Daftar Bacaan:
Silsilah Hadits Dhai'if dan Maudhu' Jilid 1 karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani, pustaka Gema Insani Press, Tahun 1999 (terjemahan)
Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi. Pustaka As-Sunnah, Jakarta (terjemahan)
Shahih Targib wa Tarhib, karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Pustaka Sahifa, Jakarta

Kamis, sore hari
Jember, 24 Jumadits Tsaniyah 1435 / 24 April 2014
Artikelassunnah.blogspot.com






_____________________________________
1. Artikelassunnah.blogspot.com





Minggu, 23 Februari 2014

Adakah Keutamaan Memakai Cincin Akik?



تختموا بالعقيق فإنه مبارك
(موضوع)
Pakailah cincin dengan batu akik karena batu akik itu diberkati.
[palsu]



Hadits ini maudhu' dan diriwayatkan oleh al-Muhamli dalam kitab al-Amali II/41, al-Khatib dalam Tarikh Baghdad XI/251 dan juga al-Uqaili dalam Dhu'afa halaman 466 dengan sanad dari Ya'qub bin al-Walid al-Madani, sedangkan Ibnu Adi I/356 dengan sanad dari Y'aqub bin Ibrahim az-Zuhri yang semuanya dari Hisyam bin Urwah dari Ayahnya, dari Aisyah radhiyallhu'anha.
Dari sanad Uqaili dalam kitab al-Maudhu'at Ibnul Jauzi menyebutkan, “Ya'qub adalah pendusta dan pemalsu (hadits)” Uqaili sendiri berkata, “Dalam hal ini terbukti keshahihannya bersumber dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.”
Dalam mengutarakan biografi Ya'qub ini adz-Dzahabi berkata, “Imam Ahmad berkata, “Ia (Ya'qub) termasuk deretan pendusta besar dan pemalsu hadits rangking atas.” Kemudian adz-Dzahabi menyebut hadits diatas. Ibnu Adi berkata, “Ya'qub bin Ibrahim ini tidak dikenal dan riwayat ini dicuri dari Ya'qub bin al-Walid.”
Seperti biasa, As Syuthi selalu berusaha mengomentari pernyataan Ibnul Jauzi. Dalam kitab al-Li'ali II/282 berkata, “Hadits ini mempunyai sanad lain dari Abi Said Syu'aib bin Muhammad bin Ibrahim asy-Syu'aibi, dari Abu Abdillah Muhammad bin Washir al-Qarni, dari Muhammad bin Shal bin Al-Fadhl bin Askar Abu al-Fadhl, dari Khalad bin Yahya, dari Hisyam bin Urwah.
Menurut saya (Syaikh Al-Albani), ini adalah pernyataan mengambang dan tidak mengena. Disamping oleh Sakhawi telah dinyatakan semua sanadnya batil, hadits ini juga menyimpang dari ketetapan-ketetapan dan kaidah-kaidah yang disepakati kalangan pakar hadits dan ilmunya. Disebtukan bahwa banyaknya sanad dalam suatu riwayat dapat menguatkan kedudukan duatu hadits. Namun yang ada dalam riwayat hadits ini tidak demikian. Sebagian besar sanadnyatidak lepas dari tertuduh sebagai pendusta. Di samping itu, lafazh matan (redaksi hadits)nya pun tidak tetap.Misalnya, dalam riwayat Aisyah dinyatakan 'diberkahi', sedang pada riwayat yang lain dinyatakan 'dapat menolak kefakiran', dan sebagainya, yang sungguh tidak bisa dibenarkan syariat maupun akal sehat. Hadits serupa ini sangat banyak diriwayatkan dan sangat menyesatkan aqidah yang sehat dan murni. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
 تختموا بالعقيق فإنه ينفي الفقر
(موضوع)
Gunakanlah cincin akik karena sesungguhnya cincin akik itu dapat menolak kefakiran.
[palsu]


Hadits ini maudhu' dan diriwayatkan oleh Ibnu Asakir IV/291 dalam mengetengahkan biografi al-Hasan bin Muhammad bin Ahmad bin Hisyam as-Sulami, dengan sanad dari Abi Ja'far Muhammad bin Abdullah al-Baghdadi, dari Muhammad bin al-Hasan dari Muhammad Ath-Thawil dari Anas radhiyallahu'anhu.
Ibnu Hajar dalam al-Lisan II/269 berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini maudhu', namun saya tidak mengetahui siapa yang memalsukannya.” Pernyataan ini dikukuhkan oleh as-Suyuthi dalam al-La'ali II/273.
تختموا بالعقيق فإنه أنجح للأمر واليمنى أحق بالزينة
(موضوع)
Gunakanlah cincin akik karena ia dapat menyukseskan segala urusan, dan tangan kanan lebih patut untuk dihiasi.
[palsu]

Hadits ini maudhu'. Dan diriwayatkan oleh Ali bin Mahrawiyah. Dalam sanadnya terdapat seorang bernama Daud bin Sulaiman al-Ghazi al-Jarjani yang oleh Ibnu Muin dinyatakan sebagai pendusta. Adz-Dzahabi berkata, “Dia adalah syekh kadzdzabin (biang pendusta)

من تختم بالعقيق لم يزل يرى خيرا
(موضوع)
Barangsiapa memakai cincin akik, ia akan selalu menjumpai kebaikan. [palsu]


Hadits ini maudhu'. Ibnul Jauzi meriwyatkan dalam al-Maudhu'at dengan sanad dari Ibnu Hibban yakni dalam kitab adh-Dhu'afa' dari Zuhair bin Ibad, dari Abu Bakar bin Syu'aib, dari Malik, dari az-Zuhri, dari Amr bin Syarid, dari Fatimah binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ibnul Jauzi berkata, “Abu Bakar ini meriwayatkan dari Imam Malik, padahal itu bukan hadits darinya.” Pernyataan ini dikukuhkan Suyuthi dalam al-La'ali II/271. Adz-Dzahabi dalam mengetengahkan biografi Abu Bakar berkata, “Ini Dusta semata.” Pernyataan itu disepakati oleh Ibnu Hajar dalam al-Lisan.
 Wallahu a'lam
Sumber: Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press,