Ahlan wa sahlan bagi pengunjung yang dirahmati Allah sekalian. Dipersilakan bagi pembaca atau pengunjung untuk menyebarkan isi atau meteri dari blog ini dengan menjaga amanat ilmiah, dengan mencantumkan link website ini. Semoga dapat menjadi amal kebaikan kita di akhirat kelak. Aamiin

Rabu, 04 Desember 2013

Berdzikir dengan alat tasbih, Betulkah?


Teks Hadits:
نعم المذكر السبحة.
( موضوع )
Sebaik-baik alat untuk berdzikir adalah tasbih
[palsu]


     Hadits ini maudhu' (palsu). Telah diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam kitabnya Musnad al-Firdaus.
     Menurut saya, sanad hadits tersebut dari awal hingga akhir semuanya gelap, sebagian majhul (tidak diketahui identitasnya) dan sebagainya lagi tercela. Kemudian Ummu al-Hasan binti Ja'far tidak ada biografinya, sedangkan Abdu Somad bin Musa telah disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan seraya mengutip pertanyaan al-Khatib yan berkata bahwa para ulama telah menyatakannya sebagai perawi lemah. Kemudian lebih jauh lagi adz-Dzahabi berkata, “Abdus Somad juga terbukti meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari kakeknya, Muhammad bin Ibrahim.”
Menurut saya, barangkali itulah kelemahan hadits ini dari segi sanadnya. Namun maknanya adalah batil. Alasannya sebagai berikut:
  1. Tasbih (rosario: alat yang digunakan untuk bertasbih, tahmid, atau takbir; penj) itu tidak dikenal di jaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi merupakan sesuatu yang baru dan hal sangat mustahil jika Rasulullah memerintahkan (menganjurkan) sesuatu pekerjaan dengan menggunakan alat yang beliau dan para sahabatnya tidak mengetahuinya. Lagi pula kata itu asing dalam bahasa arab.
  2. Riwayat tersebut sangat bertentangan dengan hadits shahih yang mengisahkan bahwa Rasulullah bertasbih dengan tangan kanannya, dan dalam riwayat lain disebutkan dengan menggunakan jari-jemarinya.
     Ada sebuah polemik tentang penggunaan tasbih ini. Dikemukakan oleh asy-Syaukani bahwa terbukti ada hadits ini yang menerangkan bahwa penggunaaan batu kecil untuk menghitung dalam bertasbih telah diriwayatkan oleh para sahabat dan dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, berarti tidak ada perbedaan bertasbih menggunakan tasbih, bebatuan (batu kecil) tangan atau jari-jemari.
Menurut saya, kita akan segera membenarkannya dengan menerima pernyataan itu, bila terbukti hadits-hadits yang dijadikan landasan itu sahih.
Singkatnya, kedua hadits yang dijadikan landasan oleh asy-Syaukani itu dirwayatkan oleh as-Suyuthi dalam risalahnya.
  1. Dikisahkan dari Saad bin Waqash bahwa suatu ketika ia bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjumpai wanita tengah menghitung-hitung batu kecil di tangannya, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mudah bagimu dari ini atau yang lebih afdal (utama) ?” Lalu beliau bersabda, “Ucapkanlah subhanallah sebanyak mungkin...dan seterusnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, al-Hakim, dari sanad Umar bin Harits dari Said bin Hilal dari Khuzaimah). Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan. Sedang al-Hakim berkata, “ Hadits ini sahih sanadnya.” Mulanya adz-Dzahabi menyepakati pernyataan kedua rawi, namun ternyat salah. Sebab dalam kitab al-Mizan, adz-Dzahabi menyatakan bahwa Khuzaimah itu majhul. Kami tidak mengetahui tepatnya sebab ia meriwayatkan secara tunggal dari Said bin Hilal. Peryataan demikian juga diutarakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqrib. Bahkan oleh Imam Ahmad telah dinyatakan (bahwa Khuzaimah) sebagai tukang campur aduk riwayat. Kalau begitu, mana kesahihan ataupun kehasanan hadits tersebut ?
  2. Hadits ini diriwayatkan oleh Shafiyah. Dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumah menjumpai Shafiyah, istrinya yang ditangannya ada empat ribu batu kecil. Kemudian beliau bertanya, “Apa gerangan yang ada di tanganmu wahai kekasihku ?” Aku (Shafiyah) menjawab, “Aku gunakan untuk bertasbih.” Beliau bersabda, “Sungguh aku bertsbih lebih dari jumlah yang ada padamu itu.” Aku katakan pada beliau, “Kalau begitu ajarilah akau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah subhanallah sebanyak makhluk yang telah diciptakan Allah (maksudnya sebanyak mungkin; penj)” (HR Tirmidzi, al-Hakim, dan lain-lain). Kemudian Tirmidzi berkata, Hadits ini gharib (asing). Kami tidak mengetahuinya kecuali hanya satu sanad.”
     Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqrib berkata, “Hadits ini dha'if, dan Kunanah (seorang sanadnya) majhul (tidak dikenal) serta tidak ada yang menguatkannya kecuali Ibnu Hibban (yang dikenal sebagai di kalangan pakar hadits sebagai orang yang ringan dalam menguatkan hadits; penj)”
   Selanjutnya, sebagai bukti akan kelemahan kedua hadits tadi adalah karena ia bertentangan dengan hadits shahih yang warid dalam sahih Muslim, 83-84, Tirmidzi IV/274 dengan menshahihkannya, dan Ibnu Majah I/23, serta musnad Imam Ahmad 6, 325, 429. Di samping itu, terbukti kesahihan hadits ada dalam kitab Ash-Shahihah bahwa sahibul kisah adalah Juwairiyah, bukannya Shafiyah. Kedua batu-batu kecil tidak ada, alias mungkar.
    Khulasah polemik ini ialah bahwa unsur bid'ah ingin dikuatkan dan lebih ditonjolkan kemoderatannya, dengan maksud meninggalakan sunnah. Pada prinsipnya, satu alasan saja untuk menyanggah mereka telah lebih dari cukup yakni bukankah apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih afdhal ketimbang ajaran buatan manusia biasa, siapapun orangnya? Subhanallah

(Sumber rujukan: Al-Albani, M. N. Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1. Alih bahasa oleh A.M Basalamah. 1995. Jakarta: Gema Insani Press, hal.88-91)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar