Ahlan wa sahlan bagi pengunjung yang dirahmati Allah sekalian. Dipersilakan bagi pembaca atau pengunjung untuk menyebarkan isi atau meteri dari blog ini dengan menjaga amanat ilmiah, dengan mencantumkan link website ini. Semoga dapat menjadi amal kebaikan kita di akhirat kelak. Aamiin

Selasa, 04 September 2012

Shalat Arba'in





disusun oleh Ustadz Anas Burhanuddin, MA hafizhahullahu

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu bahwa Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Barang siapa shalat di masjidku (masjid nabawi) empat puluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari api neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad no.12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444)

Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa Ulama seperti al-Mundziri rahimahullahu, al-Haitsami rahimahullahu dan Hammad al-Anshari rahimahullahu[1] karena ibnu Hibban rahimahullahu memasukan Nubaith bin Umar, salah seorang perawi hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban rahimahullahu memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul (tak dikenal) ke dalam kelompok rawi yang tsiqah (terpercaya).
Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’in (generasi setelah sahabat) yang tdak dikenali dan tidak memilki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun hadits dha’if- kecuali hadits ini ?[2]
Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baaz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3]

Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu dipehatikan seputar amalan ini, di antaranya:
1.      Kadang-kadang terjadi pelanggaran Sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ikhram bersama imam. Padahal Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal. (HR. Al-Bukhari no. 636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari)
2.     Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah mneyelesaikan arba’in. Hali ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelangan kepuangan dari Madinah. Pangilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji  setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa lihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in ? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah. Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu Ulama yang iktu menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui nahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.”[4]
3.     Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu yang lama, sedangkan mereka tidak memilki bekal  yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan  dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekalakhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5]
Adapun jamaah haji Indonesia, insya Allah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika dugunakan untuk memperbayak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memilki keutamaan lebih besar.
4.     Barangkali ada jamaah haji yang melaksanakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang sakit keras demi mengejar keutaman arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hali ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementaa sebagian jamaah lain justru sakit ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5.     Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi- bahwa ia telah datang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu daripada shalat di kamar depan. Shalatmu  di kamar depan lebih baik bagimu daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid kaummu, dan shalat di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid (tempat shalat) di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 20.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar)
Kita sudah mengetahaui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid radhiyallahu’anhu yang begitu menaati Sunnah Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji yang kadang shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yng memadai.

Ada Arba’in Lain
     Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadit berikut:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (HR. At-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para perawinya tsiqah)[6]
Di banding arba’in yang di atas, arba’in ini memilki beberapa perbedaan, yaitu:
1.      Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam dela[an hari. Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
2.     Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di manapun di atas muka bumi.

Khatimah
          Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di masjid Nabawi. Lemahnya hadits arba’in ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah Ta’ala membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbingnya kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin. []

rujukan : Majalah as-Sunnah No.05/Thn, XVI



[1] Majma’ az-Zawaaid 4/8, at-Targhib wa Tarhib 2/139. Adapun ibnu Hajar, be
[2] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41
[3] Silsilatul Ahadits adh-Dhai’fah wal Maudhu’ah 1/540 no.364, Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baaz 26/285, Fadhlul Madinah, hlm. 19, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 4/440
[4] Adhwa’ul Bayan 8/336
[5] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41

[6][6][6][6][6] Shahihut Targhib wa Tarhib 1/98 no. 409, Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin 1/334.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar